Zaman Klasik (kodai) di Jepang terdiri dari zaman Asuka, Nara dan Heian.
Zaman Asuka
Zaman Asuka berlangsung dari 538-710 Masehi yang dimaksud Asuka disini adalah daerah sekitar Asuka sekarang yang berada di prefektur Nara. Disebut Asuka karena pada waktu itu istana kaisar (Tenno) berada di daerah Asuka. Istana kaisar berada di Asuka karena pada tahun 592 kekuasaan bangsawan selain kaisar masih kuat dan Jepang waktu itu bisa dikatakan belum menjadi satu negara kesatuan yang utuh seperti sekarang. Tetapi sejak reformasi Taika pada tahun 645 kaisar berhasil menjadikan Jepang menjadi satu negara.
Zaman Nara
Zaman Nara berlangsung dari tahun 710-794 Masehi. Disebut zaman Nara karena pada tahun 710 keluarga Tenno memulai pemerintahan di istana yang disebut Heijo di Nara.
Zaman Heian
Zaman Heian berlangsung dari tahun 794-1185 Masehi. Zaman Heian adalah masa pemerintahan ketika ibukota dipindahkan dari Nara ke istana Heian di Kyoto. Sebenarnya ketika zaman Muromachi, ibukota terletak di kota Muromachi yang juga berada di kota Kyoto dan untuk membedakan zaman Muromachi maka disebutlah zaman Heian. Zaman Asuka, Nara maupun Heian ketiga-tiganya merupakan masa pemerintahan yang berpusat pada Tenno dan ketiga zaman tersebut dikenal dengan sebutan Kodai. Pada zaman Kodai yang menjalankan pemerintahan adalah Tenno, keluarga Tenno dan para bangsawan. Oleh karena itu masa ini disebut juga dengan zaman bangsawan.
Ciri-ciri Zaman Kodai
Pada zaman ini pemerintahan Tenno meniru sistem pemerintahan Cina. Kota Heian dan Heijo pun dibentuk dengan meniru ibu kota Cina. Agama Budha pun diambil dari Cina dan di seluruh Jepang dibangun kuil besar, yaitu Todaiji. Para bangsawan Jepang pun meniru bangsawan Cina yang pada waktu itu menggunakan kendaraan yang ditarik oleh sapi (gissha). Para bangswan Jepang menggunakan kendaraan ini untuk berjalan-jalan di sekitar Kyoto. Pada zam ini jumlah bangsawan masih sedikit sehingga mereka masih bisa hidup dalam kemewahan.
Pada zaman ini para bangsawan sudah mengetahui bahwa di Cina sudah menggunakan uang untuk bertransaksi. Oleh karena itu Jepang membuat uang perunggu dan menyuruh rakyat untuk menggunakannya tetapi rakyat tidak suka menggunakan uang tersebut karena tidak bernilai.
Kehidupan Zaman Kodai
Pada zaman ini, tanah, ladang, sawah merupakan milik negara dan dibagikan kepada petani untuk diolah. Kemudian para petani harus memberikan 3% dari hasil panen kepada negara sebagai pajak. Pajak ini lebih murah dibandingkan pajak pada zaman Edo yang mendekati setengahnya dari hasil panen.
Pajak pada zaman Kodai tidak hanya berupa hasil panen saja, karena selain padi, kain tenunan, ataupun bekerja untuk negara menjadi salah satu bentuk pajak. Dan hal yang paling tidak disukai rakyat pada waktu itu adalah bekerja rodi untuk negara seperti membuka lahan baru di daerah yang jauh seperti ke pulau Kyushu utara. Orang-orang pemerintah pada waktu itu memperlakukan rakyat dengan semena-mena sehingga rakyat enggan bekerja untuk negara.
Bertambahnya Tanah Milik Sendiri (Shōen)
Meskipun pemerintah sudah membuka lahan baru, lahan tersebut tidak dapat dibagikan kepada rakyat untuk dikelola karena rakyat sudah tidak mau lagi bekerja untuk pemerintah. Oleh karena itu pemerintah terpaksa menyuruh kepada penguasa untuk membuka ladang dan menetapkan bahwa ladang yang dibuka sendiri bukan lagi menjadi milik negara tetapi menjadi milik pribadi. Kemudian dalam waktu singkat banyak sekali ladang baru bertambah karena banyak orang yang ingin memiliki tanah sendiri terutama orang-orang yang berkuasa di daerah-daerah.
Mereka memperkerjakan banyak orang untuk membuka lahan pertanian dan menjadikan miliknya. Para penguasa daerah tersebut khawatir kalau tanah yang mereka miliki diambil lagi oleh pemerintah. Oleh karena itu mereka menyumbangkan sebagian tanahnya kepada para penguasa tertinggi pemerintahan (bangsawan) atau kepada kuil sehingga mereka mendapat keringanan pajak.
Tanah milik pribadi tersebut dikenal dengan istilah Shōen. Banyak orang yang kabur meninggalkan ladang yang diberikan oleh pemerintah dan berkumpul di Shōen. Mereka harus bekerja untuk tuan tanah (Daimyō), itu lebih baik daripada mereka harus bekerja untuk negara. Keberadaan Shōen mengakibatkan ketetapan bahwa ladang pertanian semua milik negara mulai menghilang dan sebagai gantinya bangsawan, kuil maupun jinja menjadi tuan tanah yang mempunyai tanah luas di Jepang.
Masa Peranan Bushi
Pada masa Kodai meskipun pengaruh Tenno, kuil maupun bangsawan menguat, tetapi pendapatan negara berkurang sehingga kekuatan negara menjadi melemah. Akibatnya kekuasaan bangsawan dan Tenno yang memerintah negara mulai melemah. Begitu kekuasaan negara melemah semakin banyaklah orang dan bangsawan yang tidak mendengarkan Tenno.
Keamanan negara memburuk sehingga untuk melindungi harta pribadi menjadi sulit. Di pedesaan warga yang membuka ladang dan menjadikannya milik pribadi bersusah payah melindungi lahan tersebut. Keluarga Tenno atau para bangsawan yang ada di Kyoto tidak dapat melindungi Shōen milik mereka ataupun menjalankan roda pemerintahan sehingga Tenno dan para bangsawan mulai menggunakan kekuatan Bushi untuk menekan orang-orang yang melawannya dan untuk memperkuat kekuasaanya. Kekuasaan Bushi semakin besar, malah lebih kuat daripada kekuasaan Tenno ataupun bangsawan. Akibatnya para Bushi merasa lebih percaya diri dan merasa bahwa sebenarnya merekalah yang menjalankan pemerintahan.
Di dalam Bushi yang paling kuat adalah orang-orang Heike dan Genji. Oleh karena itu orang-orang tersebut sering terlibat perselisihan. Awalnya Heike yang lebih unggul sehingga para Bushi Heike menggunakan kekuasaan keluarga Tenno dan bangsawan dan mereka hidup sebagaimana layaknya para bangsawan. Tetapi orang-orang Genji bekerja sama dengan para pemilik tanah dan manjadi kaki tangan mereka. Mereka mengharapkan kebijakan yang menguntungakn para Daimyō. Akibatnya para Bushi dari segi politik lebih kuat daripada Tenno dan para bangsawan. Sehingga pada tahun 1192 Tenno terpaksa memberikan jabatan Shogun kepada pemimpin besar Genji yaitu Minamoto Yoritomo dan memberikan kewenangan untuk menjalankan pemerintahan di seluruh Jepang.