Teori Terjemahan Bahasa Jepang
Suatu karya tulis bahasa asing tidak akan dapat kita nikmati apabila tidak menguasai bahasa asing tersebut kecuali bila telah dialihbahasakan ke dalam bahasa yang kita kuasai. Pengalihan bahasa inilah yang disebut penterjemahan.
Menurut Drs. Suhendra Yusuf, M.A (1994) dalam bukunya Teori Terjemahan menguraikan definisi penterjemahan sebagai berikut :
” Secara luas penterjemahan dapat diartikan sebagai semua kegiatan manusia dalam mengalihkan informasi atau pesan baik secara verbal maupun non verbal dari informasi asal kedalam informasi sasaran” (Yusuf,1994:8)
Menurut Kamus Gendai Kokugo Reikan Jiten definisi penterjemahan sebagai berikut :
“ Aru kuni no gengo,bunsho o takoku no gengo,bunsho ni naoshite hyougen suru koto ” (1993:1177)
( Proses pengungkapan atau pengalihbahasakan suatu bahasa, kalimat yang dimiliki oleh suatu negara ke dalam bahasa, kalimat negara lainnya )
Sedangkan di dalam Nihongo Daijiten, definisi terjemahan sebagai berikut :
“ Aru gengo de kakareta bunsho o, takoku no gengo ni naosu koto “
( Proses pengalihbahasaan suatu kalimat yang tertulis di dalam suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya )
Eugene A.Nida dan Charles K.Taber, dalam bukunya The Theory On Practise Of Translation yang dikutip dari dari buku Teori Terjemahan, mengartikan penerjemahan sebagai berikut :
“ Translating consist in reproducing in receptor language the closest natural equivalent in the source language message first in term of meaning and secondly in term of style “
( Menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima barang yang secara sedekat-dekatnya dan sewajar-wajarnya sepadan dengan bahasa sumber, pertama menyangkut makna dan kedua menyangkut gayanya )
Sebagai contoh adanya perbedaan musim di Jepang dan Indonesia akan memberi pengaruh pula pada penerjemahan. Misalnya udara Puncak bagi orang Indonesia dapat dikatakan dingin, tetapi bagi orang Jepang yang baru datang dan belum mengetahui kebiasaan orang Indonesia akan mengatakan bahwa: “ udara di Puncak sejuk “.Hal ini disebabkan orang Jepang mengenal empat musim.
Kata “dingin” bagi orang Jepang hanya berlaku pada musim dingin saja, di mana pada saat itu salju turun dan rasa dingin yang mengiris, berbeda dengan orang Indonesia yang tidak mengalami musim dingin. Karena itulah bagi orang Jepang daerah Puncak hanya dikatakan “sejuk” yang berarti setingkat kurang dingin dari rasa dingin bagi orang Jepang ( dalam bahasa Jepangnya “Suzushii” ).
Sebaliknya untuk bahasa Jepang dikatakan kurang tepat penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, apabila penterjemah kurang dapat menempatkan dirinya ke dalam masyarakat Jepang. Misalnya kata “Suzu” yaitu lonceng hiasan gantung yang dipasang di pintu atau jendela selama musim panas.
Bagi orang Indonesia lonceng ini hanya merupakan hiasan gantung pada pintu yang berbunyi bila tertiup angin, Tetapi bagi masyarakat Jepang lonceng juga mempunyai makna musim panas, dikarenakan hanya musim panas saja benda ini dipasang dan angin sepoi-sepoi musim panas yang dapat membunyikannya.
Oleh karena itu dalam setiap penerjemahan terutama karya sastra, seorang penterjemah harus benar-benar dapat menjiwai dan menempatkan diri menjadi anggota masyarakat bahasa sumber agar berhasil menyampaikan pesan yang dimaksud kepada pembacanya.
Dari definisi-definisi di atas sangatlah ideal bila seorang penterjemah harus mampu memberikan kesan kepada pembacanya sedemikian rupa sehingga pembaca terjemahan itu tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang membaca teks terjemahan, bukan naskah yang sebenarnya.Oleh karena itu pengalihbahasaan tersebut terasa wajar dan mudah dimengerti oleh seorang pembaca dalam bahasa sasaran.